Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Proses pelaksanaan kebijakan pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus. Karena hampir disetiap elemen-elemen pendidikan memiliki kekurangan yang perlu mendapatkan perbaikan. Mulai dari formulasi, legitimasi, implementasi, komunikasi serta partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan. Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan pendidikan merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi. Oleh karena itu, pentingnya evaluasi dini sejak dilakukan formulasi kebijakan akan mencegah terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan. Karena, evaluasi kebijakan pendidikan bertujuan untuk mengukur dan menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.Selain itu, dengan diadakannya evaluasi akan dapat diketahui dampak serta resiko yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan sehingga akan mencegah terjadinya kegagalan yang lebih besar.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan pendidikan Islam?

2.      Mengapa perlu dilakukan evaluasi kebijakan pendidikan Islam?

3.      Bagaimana batasan evaluasi kebijakan pendidikan?

4.      Apa saja macam-macam evaluasi kebijakan pendidikan?

5.      Bagaimana karakteristik evaluasi kebijakan pendidikan?

6.      Bagaimana aktor-aktor dalam evaluasi kebijakan pendidikan?

7.      Bagaimana problema evaluasi kebijakan pendidikan?








PEMBAHASAN


A.    Pengertian Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan diketahui bagaimana kondisi objek evaluasi tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Istilah evaluasi sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, akan tetapi kata ini adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran.

Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan. Menurut Arikunto yang di kutip dari bukunya yang berjudul evaluasi Pendidikan, beliau menyebutkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.[1]

Sedangkan, Lessinger sebagaimana yang di kutip oleh Gibson dalam bukunya yang berjudul Organisasi dan Manajemen mengemukakan bahwa evaluasi adalah proses penilaian dengan jalan membandingkan antara tujuan yang diharapkan dengan kemajuan atau prestasi nyata yang dicapai.[2] Evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara satu program dengan program lain yang di anggap standar.[3]

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. As its root term denotes, an evaluation is a determination of value; and an evaluation of the contributions of a school, hospital, reading program, housing project, administrator, doctor, or teacher is not complete until the value of the contributions has been judged.[4]


B.     Pengertian Kebijakan Pendidikan

Ciri-ciri umum dari suatu Negara adalah merdeka atau mempunyai kedaulatan, mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan. Manusia yang hidup didalam Negara inilah disebut sebagai “sebuah kehidupan bersama”. Kehidupan bersama perlu ditata atau diatur, oleh peraturan yang berlaku untuk semuanya dan berlaku mengikat semuanya, supaya Negara yang satu dengan yang lainya tidak saling merugikan, melainkan saling menguntungkan.[5]

Riant Nugroho mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik dimana konteks kebijakan publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan pendidikan di pahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan Negara Bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan Negara Bangsa secara keseluruhan.

Sedangkan menurut Arif Rahman kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat di Tarik kesimpulan bahwa Kebijakan Pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.

C.    Perbedaan Pendidikan dengan Pendidikan Islam

Pendidikan sering daiartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiaannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.[6] Menurut Drijarkasa sebagaimana yang dikutip oleh Gunawa dalam bukunya yang berjudul kebijakan-kebijakan pendidikan beliau menyebutkan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda, jadi pendidikan tersebut dilakukan oleh manusia (dewasa) dengan upaya-upaya yang sungguh-sungguh  serta siasat dan strategi yang tepat  demi keberhasilan pendidikan tersebut.[7]

Pendidikan Islam adalah suatau sistem kependidikan yang mecakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah.[8] Sedangkan menurut Abdur Rahman Nahlawi, Pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secar logis dan sesuai secar keseluruhan baik dalam kehidupan individu atau kolektif.

Dengan demikian dapat kita Tarik kesimpulan bahwa pendidikan dan pendidikan Islam tidak jauh berbeda, karena tujuan pendidikan keduanya tidak lepas dari tujuan hidup manusia. Jika pada Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seluruh aspek atau komponenya didasarkan pada ajaran Islam. Sedangkan pendidikan tidak semua didasarkan pada ajaran Islam. Atau bisa juga di artikan pendidikan Islam merupakan Peendidikan yang dilihat melalui kacamata Islam, sedangkan Pendidikan tidak demikian.


D.    Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Seif (2008) states that evaluation is a rule governed process for gathering and analysis of data.  It is used to determine whether the educational goals are fulfilled or they are on the process of fulfillment, and to what extent. He also believes that the main goal in education is to make changes in learners’ behavior. Seif also states that education is comprised of three phases: determining goals, teaching and educational evaluation.[9]

Evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah diperoleh bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang di inginkan. Sedangkan kebijakan pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.

Sehingga Evaluasi kebijakan Pendidikan Islam merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi kebijakan kemudian akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih antara standar yang telah ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai.


E.     Tujuan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut :

1.      Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2.      Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3.      Mengukur tingkat keluaran suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.[10]

4.      Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kabijakan, baik dampak positif maupun negatif.

5.      Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

6.      Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kabijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.


F.     Manfaat Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Evaluasi kebijakan dilakukan dengan maksud:[11]

1.      Mengetahui apakah hal-hal yang telah dirumuskan dalam formulasi kebijakan tersebut dapat dilaksanakan atau tidak;

2.      Mengetahui apakah rumusan-rumusan kebijakan yang tertulis telah berhasil dilaksanakan atau belum;

3.      Mengetahui kelebihan dan kekurangan rumusan kebijaksaan dalam kaitannya dengan faktor kondisional dan situasional dimana kebijakan tersebut dilaksanakan;

4.      Mengetahui seberapa jauh suatu rumusan kebijakan telah dapat diimplementasikan;

    Mengetahui keberhasilan dan kekurangan pelaksanaan kebijakan;

5.      Mengetahui seberapa dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan terhadap khalayak yang bermaksud dituju oleh kebijakan, dan khalayak yang tak bermaksud dituju oleh kebijakan;

6.      Mengetahui apakah resiko-resiko yang telah diperhitungkan pada saat formulasi telah dapat diatasi dengan baik ataukah tidak; dan

7.      Mengetahui langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam hal perbaikan kebijakan.

G.    Macam-macam evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Evaluasi kebijakan pendidikan dapat digolongkan sesuai dengan berbagai macam sudut tinjau. Penggolongan dengan berbagai macam sudut tinjau ini, justru akan memperkaya khazanah dan perspektif evaluasi kebijakan. Dengan demikian, hakikat evaluasi kebijakanini akan tertangkap secara jelas.

1.      Ditinjau dari segi waktu mengevaluasi, evaluasi kebijakan pendidikan dapat digolongkan menjadi dua:

a.       Evaluasi yang berasal dari pandangan linier, evaluasi dilaksanakan setelah implementasi kebijakan. Berarti, menurut pandangan linier ini, yang dievaluasi terutama adalah implementasi kebijakan.

b.      Evaluasi yang berasal dari pandangan komprehensif, evaluasi dilaksanakan di hampir setiap tahap proses kebijakan. Evaluasi dilaksanakan baik pada saat perumusan, legitimasi, komunikasi, implementasi, partisipasi bahkan terhadap evaluasinya sendiri. Setiap tahapan proses kebijakan senantiasa dievaluasi, dan setelah itu kemudian diadakan perbaikan.


2.      Ditinjau dari kriteria evaluasi, dapat dibedakan atas dua golongan, antara lain:

a.    Evaluasi yang menggunakan kurikulum. Kriterium ini lazimnya berupa kriterium mengacu kepada yang sudah terstandar (standard criteria reference). Yang pertama ini berarti telah dibuat patokan secara nasional dan daerah-daerah yang melaksanakan kebijakan tersebut harus menjadikannya sebagai patokan.

b.    Evaluasi berdasarkan acuan norma (norm criteria reference). Yang kedua lebih menunjuk kepada, apakah suatu daerahyang melaksanakan kebijakan tersebut, berada dibawah atau di atas rata-rata daerah-daerah secara rasional.

3.      Ditinjau dari sasarannya, evaluasi kebijakan dapat dibedakan menjadi dua macam:

a.       evaluasi proses dan evaluasi dampak. Yang dimaksud dengan evaluasi proses kebijakan pendidikan adalah evaluasi yang bermaksud mengetahui baik tidaknya proses kebijakan pendidikan,

b.      sedangkan evaluasi dampak bermaksud mengetahui seberapa dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pendidikan terhadap masyarakat sasarannya.

4.      Ditinjau dari segi kontinuitasnya, evaluasi kebijakan pendidikan dapat dibedakan menjadi, evaluasi formatif dan sumatif.

a.       Evaluasi formatif dilaksanakan secara terus menerus, sedangkan

b.      evaluasi sumatif dilaksanakan setiap periode waktu tertentu.

5.      Anderson menggolongkan evaluasi kebijakan menjadi evaluasi impresiomist, evaluasi operasional, dan evaluasi sistematik. Evaluasi - evaluasi yang dimaksud oleh Anderson adalah sebagai berikut:

a.       Evaluasi kebijakan impresionist adalah evaluasi yang didasarkan atas bukti-bukti yang bersifat anekdotal dan fragmentaris dan dipengaruhi oleh ideologi, kepentingan da kriteria tertentu.

b.      Evaluasi kebijakasanaan operasional adalah evaluasi yang diaksentuasikan pada masalah-masalah pelaksanaan kebijakan.

c.       Evaluasi kebijakan sistematik adalah evaluasi yang didesain secara sistematis. Evaluasi demikian, memperhatikan komponen sistem kebijakan secara keseluruhan, dan oleh karena itu lazimnya lebih bersifat objektif, apa adanya.

d.      Evaluasi sistematik menjangkau pada persoalan apakah suatu kebijakan mencapai tujuan serta mempunyai dampak sebagaimana yang diharapkan ataukah tidak.



H.    Karakteristik Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Yang dimaksud dengan karakteristik adalah ciri khusus yang dimiliki oleh sesuatu. Oleh karena merupakan ciri khusus, maka ciri tersebut tak dimiliki oleh sesuatu yang lain selain dari padanya. Dengan demikian, ciri khusus yang ada pada evaluasi kebijakan berbeda dengan ciri khusus yang ada pada evaluasi-evaluasi lainnya.


1.      Tidak bebas nilai. Yang dimaksud tidak bebas nilai adalah, bahwa evaluasi kebijakan senantiasa menentukan harga dan nilai satuan kebijakan. Oleh karena masing-masing orang yang terlibat dalam proses kebijakan tersebut berbeda-beda orientasi nilainya, maka cara mengevaluasi, unsur-unsur yang dievaluasi, serta harga dari satuan kebijakan dapat ditangkap berbeda-beda oleh mereka.

2.      Berorientasi pada masalah. Evaluasi diaksentuasikan kepada masalah yang dirumuskan atau diformulasikan. Apakah masalah-masalah yang diformulasikan, telah terjawab secara memuaskan ataukah tidak.

3.      Berorientasi pada masa lalu dan kini. Orientasi kepada masa lalu menunjukkan dengan jelas, bahwa yang dievaluasi adalah sesuatu yang telah terjadi, dan bukan hal-hal yang masih belum terjadi, sesuatu yang telah dilaksanakan dan bukan hal-hal yang belum dilaksanakan. Orientasi pada masa kini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa apa yang kini dilaksananakan senantiasa diperhatikan dan bahkan menjadi pusat perhatian.

4.      Berorientasi kepada dampak. Inilah barangkali yang membedakannya dengan evaluasi jenis yang lainnya. Ada dua macam dampak dalam hal ini, ialah dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Evaluasi harus mengetahui apakah dampak yang ditimbulkan tersebut sesuai dengan yang diharapkan.

I.       Aktor-aktor Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam[12]

Keterlibatan pembuat dan pelaksana dalam evaluasi kebijakan ini bergantung kepada corak hubungan antara pembuat dan pelaksana kebijakan.Pada hubungan yang bersifat teknokratika, kewenangan pembuat kebijakan sangat besar dan bahkan hampir-hampir mutlak, evaluasi yang dilakukan oleh pembuat harus diterima oleh pelaksana. Sebaliknya, pada hubungan yang bersifat swasta birokratis, keterlibatan pambuat kebijakan sangat kecil, karena sebagian besar kewenangan evaluasi ini ada pada pelaksana. Bahkan hak kontrol atas pelaksanaan kebijakan ini sangat banyak ditentukan oleh pelaksana.

Keterlibatan administrator dalam evaluasi kebijakan, umumnya berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pelaksana kebijakan.Pertanggungjawaban hasil evaluasi kebijakan secara formal dan legal ada di tangan pelaksana meskipun secara materil berada di tangan administrator.Baik keterlibatan pembuat, pelaksana maupun administrator dalam evaluasi kebijakan umumnya berada di dalam arena.Jika mereka memberikan penilaian di luar arena, umunya berkapasitas sebagai pribadi, atau pemberian penilaian yang bersifat tidak formal.

Sementara itu keterlibatan aktor-aktor kebijakan yang bersifat tidak formal umumnya berada di luar arena. Sebab, jika memang mereka bermaksud memberikan penilaian secara formal melalui arena, haruslah menjadi aktor kebijakan formal. Media masa sering kali menjadi mediator dalam penilaian yang dilakukan oleh peserta-peserta kebijakan tidak formal ini. Dengan demikian, hasil penilaian tersebut akhirnya juga sampai kepada pelaksana, entah lambat atau cepat.

Dalam proses penilaian, tidak jarang antara aktor-aktor formal dan aktor non formal tersebut bekerja sama atau membentuk suatu forum. Forum tersebut sengaja dibentuk dan dibuat dalam rangka memberikan penilaian menyeluruh terhadap kebijakan. Dengan adanya forum, akan didapatkan hasil penilaian yang berasal dari banyak variasi pandangan sehingga didapatkan hasil penilaian hasil yang lebih komprehensif.

Yang termasuk aktor-aktor non formal evaluasi kebijakan adalah: partai politik, organisasi masa, interest group, kelompok perantara, mitra pelaksana kebijakan, tokoh perorangan dan media masa.


J.      Problema Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam

Banyak problema yang dialami dalam aktivitas mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Problema-problema tersebut ialah sebagai berikut:

1.      Bila tujuan kebijakan tersebut tidak jelas. Ketidak jelasan tujuan demikian diakibatkan oleh adanya kompromi dan konsensus yang dipaksakan pada saat formulasi kebijakan. Kompromi dan konsensus demikian dipaksakan karena memang dimaksudkan untuk mengakomodasi banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya. Tanpa adanya kompromi-kompromi, bisa mejadi penyebab formulasi kebijakan tersebut tidak disetujui oleh kebanyakan peserta kebijakan. Dan, jika tidak disetujui berarti tidak dapat dilaksanakan. Maka dari itu, tujuan yang dirumuskan umumnya kabur dan bisa bermakana ganda. Padahal gandanya makna justru menyukarkan evaluasinya.

2.      Cepatnya perkembangan masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Ini menyulitkan evaluasi kebijakan, oleh karena itu masalah-masalah yang bermaksud dipecahkan oleh kebijakan mungkin juga sudah berubah dan berganti dengan masalah yang lainnya. Masalah-masalah yang bermaksud dipecahkan oleh formulasi dan implementasi kebijakan sudah tidak ada, sementara masalah baru yang bahkan tidak ada kaitannya dengan masalah lama muncul.

3.      Tak jelas masalahnya, sumber masalah dan gejala masalahnya. Ketidak jelasan demikian bisa terjadi karena antara masalah, sumber masalah, dan gejala masalah sudah tumpang tindih. Hal ini terjadi karena masalah-masalah tersebut golongan masalah sosial, antara yang satu dengan yang lain kadang-kadang saling interchange.

4.      Terkaitnya antara masalah satu dengan masalah lain. Sebagai contoh: sukar memisahkan antara masalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Sebab masyarakat yang bodoh dan terbelakang cenderung miskin, dan sebaliknya pada masyarakat yang miskin juga cenderung bodoh dan terbelakang.

5.      Subjektifnya masalah kebijakan. Ini dapat diketahui dari berbedanya masalah menurut persepsi orang satu dengan menurut persepsi orang lain. Bahkan sesuatu yang oleh seseorang dianggap sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan, justru dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan oleh karena itu harus dipertahankan.


K.    Contoh Evaluasi kebijakan Pendidikan Islam

Kabupaten Jembrana adalah satu dari Sembilan kabupaten dan kota yang ada di propinsi bali, terletak dibelahan barat pulau bali, Luas wilayah Jembrana 84.180 KM. atai 14,96% dari luas wilayah Pulau Bali. Kabupaten jembrana terdiri dari 4 kecamatan, 42 Desa, 9 Kelurahan, 209 Dusun, 65 Desa Adat dan 261 Banjar Adat. Jumlah penduduk Tahun 2005 adalah 258.078 jiwa dengan kepadatan 307 jiwa/Km2. Jembrana merupakan salah satu kabupaten termiskin di propinsi bali, bersama singaraja. Pada tahun 2000, Pendapatan Asli Daerah (PAD) jembrana hanya RP 2,5 Milyar, dengan APBD Rp. 66,9 Milyar, untuk mengelola pembangunan dengan daerah berpenduduk 215.594 juta.

Kondisi jembrana pada tahun 1999-2000 dicatat memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan Pemda Jembrana ditemukan data sebagai berikut:

1.      Hampir satu dari 5 anak lulusan SD tidak mampu melanjutkan ke SMP karena orang tua tidak mampu membayar iuran.

2.      Lebih dari separuh bangunan SD Negeri dalam kondisi rusak.

3.      Kesejahteraan guru memprihatinkan.

4.      Dari 200 SD yang ada, rata-rata siswa perkelas hanya 21 orang, padahal standar satu kelas dapat menampung 30 siswa.[13]

Pemerintah kabupaten jembrana mempunyai prinsip pembangunan bahwa perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Jika sebelumnya daerah hanya merupakan pelaksana dari berbagai program program, pada saat ini  daerah harus  membuat rencana sendiri sesuai dengan kondisi objektif masing-masing kabupaten/kota.[14]

Pemerintah kabupaten jembrana menyadari bahwa investasi jangka panjang yang akan melanjutkan pembangunan di kabupaten Jembrana. Kegagalan pendidikan dapat menyebabkan keterbelakangan dan keterpurukan sehingga terancam kehilangan sebuah generasi (lost generation).[15]

Pada temuan penelitian dikemukakan bahwa kebijakan pendidikan di jembrana tediri dari dua (2): Keputusan Bupati dan dua (2) peraturan daerah, yaitu:[16]

1.      Keputusan Bupati Nomor 24 tahun 2003 tentang pembebasan iuran wajib pada SD, SLTP, SMU, dan SMK Negeri di kabupaten Jembrana.

2.      Keputusan Bupati Nomor 1615 tahun 2004 tentang pemberian beasiswa kepada siswa tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK yang memperoleh Nilai Surat Tanda Kelulusan (STK) Tertinggi dan Berprestasi di bidang Olahraga.

3.      Perda No. 10/2006 tentang subsidi biaya pendidikan pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana.

4.      Perda No. 14/2006 tentang pemberian beasiswa kepada siswa yang tidak mampu pada sekolah swasta dan siswa yang berprestasi di sekolah negeri maupun swasta di kabupaten Jembrana.

Dari hasi kebijakan tersebut, kebijakan pendidikan jembrana lebih maju dibanding Kebijakan Pendidikan Nasional, baik secara waktu maupun pencapaian.

Pertama, Secara waktu, karena kebijakan pendidikan pembebasan biaya sekolah SD dan SMP telah dilaksanakan sejak tehun 2000/2001, lebih dulu dibandingkan amanat yang sama pada UU no. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas (2003), peraturan pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan perendiknas no. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.[17]

Kedua, Secara Pencapaian. Jembrana telah mampu membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri hingga SMA, atau Wajib Belajar 12 Tahun, diatas Target Nasional wajib belajar  Tahun, sebagaimana di cantumkan pada permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang masih memberikan target pembebasan pendidikan hingga SMA.[18]

















PENUTUP


Kesimpulan

Dari penjelasan di atas kami dapat menarik kesimpulan bahwa evaluasi merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan. Sedangkan, evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.

Kegiatan evaluasi mempunyai beberapa tujuan diantaranya untuk mengukur tingkat keberhasilan, mengetahui kekurangan dan kelebihan, mengetahui dampak dan resiko serta sebagai alat melakukan koreksi. Macam-macam evaluasi kebijakan meliputi: ditinjau dari segi waktu mengevaluasi, ditinjau dari substansi evaluasi kebijakan pendidikan, ditinjau dari periodisasi evaluasi, ditinjau dari kriteria avaluasi, ditinjau dari sasaran evaluasi, dari segi kontinuitas.

















DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, Suharsimi. 2004. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. Jakarta: Bumi Aksara.

Ary H. Gunawan, 1986. “Kebijakan-kebijakan pendidikan”. Jakarta: Rineka Cipta.

DANIEL L. STUFFLEBEAM. 1994. “Empowerment Evaluation, Objectivist Evaluation, and Evaluation Standards: Where the Future of Evaluation Should Not Go and Where It Needs to Go”. Vol 15 No.3 1994 pp 321-338

Dede Irawan Saputra, Ade Gafar Abdullah, Dadang Lukman Hakim. Jurnal INVOTEC, Volume X, No.1 Februari 2014.

Gibson, J.L, Ivan Cevich and Donelly.1995. “Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, dan Proses”. Jakarta: Erlangga.

Hasbullah, 2011. “Dasar-dasar Pendidikan”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Imron, Ali. 2008. “Kebijakan Pendidikan di Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara.

Nanang Fattah. 2013. “Analisis Kebijakan Pendidikan”. Bandung: rosdakarya.

Nur Uhbiyati. 1999.  “Ilmu Pendidikan Islam”, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Ramezan Jahanian. “Educational Evaluation: Functions and Applications in Educational Contexts” .International Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences. April 2012, Vol. 1, No. 2   ISSN:  2226-3624

Riant Nugroho.2006. “Kebijakan Pendidikan yang unggul”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tim Editor TIFA. 2005. “Semua Bisa Seperti Jembrana: Kisah Sukses Sebuah Kabupaten Meningkatkan Kesejahteaan Rakyatnya”, Jakarta: Yayasan Tifa.

Riant Nugroho.2006. “Kebijakan Pendidikan yang unggul”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

www.jembrana.go.id


[1] Arikunto, Suharsimi. 2004.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara hlm 1

[2] Gibson, J.L, Ivan Cevich and Donelly.1995. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, dan Proses. Jakarta: Erlangga hlm 374

[3] Dede Irawan Saputra, Ade Gafar Abdullah, Dadang Lukman Hakim. jurnal INVOTEC, Volume X, No.1,Februari 2014:13-34

[4] DANIEL L. STUFFLEBEAM. 1994. “Empowerment Evaluation, Objectivist Evaluation, and Evaluation Standards: Where the Future of Evaluation Should Not Go and Where It Needs to Go”. Vol 15 No.3 1994 pp 321-338

[5] Riant Nugroho.2006. Kebijakan Pendidikan yang unggul. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 31

[6] Hasbullah, 2011. Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 1

[7] Ary H. Gunawan, 1986. Kebijakan-kebijakan pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta hlm 1

[8] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 13

[9] Ramezan Jahanian. “Educational Evaluation: Functions and Applications in Educational Contexts” .International Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences. April 2012, Vol. 1, No. 2   ISSN:  2226-3624.

[10] Nanang Fattah. 2013. analisis Kebijakan pendidikan. Bandung: rosdakarya. Hlm 247

[11] Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

[12] Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

[13] Tim Editor TIFA, semua bisa seperti jembrana: kisah sukses sebuah kabupaten meningkatkan kesejahteaan rakyatnya, Jakarta: Yayasan Tifa, 2005, hlm. 9

[14] www.jembrana.go.id

[15] Ibid.

[16] Riant Nugroho.2006. Kebijakan Pendidikan yang unggul. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm  79.

[17] Riant Nugroho.2006. Kebijakan Pendidikan yang unggul. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm  81

[18] Ibid. hlm. 82

Post a Comment for "Evaluasi Kebijakan Pendidikan Islam"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel