Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PONDOK PESANTREN AL-MUTTAQIEN PANCASILA SAKTI



PONDOK PESANTREN AL-MUTTAQIEN
PANCASILA SAKTI
     

Di susun dan di ajukan guna memenuhi tugas terstruktur
Mata kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Rahman Affandi, S.Ag. ,M.S.I
Di susun oleh :

Nama   : Bisri Mustofa
NIM     : 102331199
Prodi    : 3 PAI 5

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2011
Kata pengantar



















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I  PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHSAN
a.       Sejarah Berdiri, Pendiri dan Perkembangan  PonPes Al-Muttaqien.................................................................................................................
b.      Keluarga Besar Mbah Musliem Rifa’i Imam Pura........................................................
c.       Mau’idhoh Mbah Liem................................................................................................
d.      Letak Geografi PonPes Al-Muttaqien..........................................................................
BAB III            PENUTUP
a.       Kesimpulan.................................................................................................................
b.      Rekomendasi..............................................................................................................
c.       Kata Penutup..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................






PENDAHULUAN
            Puji syukur kehadlirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan kita rahmat dan hidayahnya sehingga 

















A.     Sejarah Pendiri, Berdiri, dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten.
Proses awal kelahiran dan pendiri pondok pesantren Al-Muttaqien tidak lepas dari figur seorang kyai sebagai pendirinya. Pesantren Al-Muttaqien didirikan oleh Kyai Haji Moeslim Rifa’i Imampuro atau lebih di kenal dengan panggilan mbah Lim, pada tahun 1974 di dukuh Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten, Kurang Lebih 7 Km ke arah timur laut kota Klaten (sekitar 200 M dari jalan raya jogja – solo, Km 37). Walaupun demikian, rintisan kearah itu sudah di mulai sejak tahun 1959, yaitu ketika pertama kalinya mbah lim datng ke dukuh sumberejo, yang pada waktu itu kehidupan keagamaan masyarakat karangaom umumnya masih terlihat “abang branang”, artinya pengetahuan agamanya sangat minim ,kecuali desa tegalarum,Kadirejo, Karanganom dan Beku. Kegiatan mbah lim berjihad di mulai dengan mengajak warga masyarakat Sumberejo untuk secara bersama-sama mendirikan mushola yang di beri nama “sidodadi” pada tahun 1960, tetapi setelah secara rutin di gunakan untuk sholat jum’at maka kemudian di ganti dengan nama “Al-Muttaqien”  dengan harapan agar semua warganya menjadi orang orang yang bertaqwa. Pada tahun-tahun tersebut bersama dengan temanya mondok di Mamba’ul “Ulum yang bernama Kyai Haji Nadjib Heroe Cokro, melakukan da’wah di beberapa tempat  di kecamatan karanganom, bahkan sampai ke wilayah kecamatan Polanharjo dan Ceper. Oleh karena keberadaan mbah lim di sini sebagai pendatang maka pada langkah awal da’wahnya banyak mendapat tantangan dan rintangan, namun karena kesabaran dan ketekunannya, secara perlahan dapat membawa hasil dan sedikit demi sedikit masyarakat mulai menaruh kepercayaan kepadanya.
            Panggilan ”Mbah”  yang sudah melekat di hati masyarakat sebenarnya secara “Guyonan” sudah di mulai sejak usia beliau anak-anak karena bicaranya mbah lim waktu kecil seperti orang yang lanjut usia, yaitu gagap atau celat/pelo, yang menurut  Bapak Abu Toyyib selaku sesepuh di desa sumberejo, hal itu terjadi karena ia (mbah lim) pernah mati suri (mati semu) pada usia 4 tahun, namun kemudian hidup kembali setelah di sucikan. Mbah Lim sebenarnya juga pernah menjadi pegawai PJKA di sidoarjo pada tahun 1955, tetapi karena merasa waktunya untuk ibadah kurang lancar, maka terpaksa keluar, kemudian merantau di beberapa daerah dalam wilayah jawa dan madura untuk memperluas dan memperdalam ilmu agamanya,  diantaranya  di krapyak yogyakarta,dan di berbagai  pesantren yang dirasa cocok dan sesuai dengan hatinya, sampai pada tahun 1959 tiba di dukuh sumberejo dan menetap disana.
            Mbah Lim sebenarnya juga masih mempunyai garis keturunan dari kasunan surakarta, yaitu dari seorang ibu yang bernama RA Marsilah. Dari silsilah ibunya Mbah Lim masih keturunan Raja Pakubowono IV bahwa ibunya putri dari Imampuro, putra Tepo Kusumo adalah putra pangeran Teponingrat, tidak lain adalah Raja Pakubowono IV. Ayahnya bernama Muhammad Bakri  Tepo Sumarto yang berasal dari desa pinggiran Boyolali dan merupakan anak pertama dari eyang khasan Minhaj. Konon dia adalah seorang kyai pada masa itu. Mbah Lim yang dilahirkan sekitar 83 tahun silam, tepatnya pada tahun 1928, menikah dengan seorang gadis yang bernama Umi As’adah yang berasal dari kaliyoso, solo, dan berdasarkan informasi yang di terima masih mempunyai garis keturunan dari Kyai Mojo. Pada masa usia sekolah Mbah Lim Mondok dimamba’ul ‘Ulum Surakarta sampai kelas 12 (kalau sekarang setingkat SMU) yang merupakan sdik kelas dari Munawir Sadzali (Mantan Menteri Agama RI).
            Keluarga ini(Mbah Lim dan Umi Sa’adah) kemudian dikaruniai sembilan putra dan putri diantaranya ada yang sudah tamat dari institut Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Universitas Islam Indonesia (UII) Juga ada yang tamat dari pondok pesantren Kajen (PATI) selanjutnya membantu ayahnya dengan mencurahkan perhatianya pada pondok pesantren yang sekarang berdiri. Sedangkan satu diantaranya ada yang studi di baghdad Iraq dan yang lainya masih studi di berbagai perguruan tinggi di jawa. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Mbah Lim merupakan sosok orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya, termasuk masa depan mereka.
            Kegiatan Da’wah yang dilakukan di masyarakat sumberejo sejak tahun 1959 tersebut lebih banyak dilakukan dengan sistem “ngemong”  yaitu dengan masih memperbolehkan berlakunya tradisi  di dukuh ini yang sebelumnya sudah ada. Da’wahnya tersebut tidak hanya terbatas pada masyarakat biasa, tetapi juga masyarakat yang mengalami “sakit”, mengingat bahwa situasi dan kondisi masyarakat di sekitarnya pada waktu itu  masih diwarnai dengan perilaku menyimpang, seperti apa yang di sebut “gali”.
            Ketiak meletusnya gerakan 30 september oleh PKI (G30S-PKI), Mbah Lim bersama teman-temanya , antara lain: Bapak Nadjib Heru Cokro, Musyafa’ dan Atmosumitro (Kades desa Troso pada waktu itu) mengadakan operasi rohani di bawah naungan atau komandan anti G 30 September PKI Kecamatan Karanganom Muhammad Tohari guna membimbing rakyat pada kesadaran kebenaran dan berketuhanan yang Maha Esa Sejati, demi keselamatan dunia dan akhirat.
            Dengan Kegiatan dakwahnya yang makin meluas dengan jumlah murid yang kian bertambah tersebut, justru menimbulkan beberapa hambatan pada langkah selanjutnya , terbukti dengan unsur kecurigaan yang datang dari aparat negara. Dalam hal ini kodim klaten,  yaitu dengan melakukan pemeriksaan  terhadap keberaadaan Mbah Lim, pada tahun 1970. Dari pemeriksaan tersebut, selanjutnya memberikan konsekwensi bahwa kegiatan dakwahnya hanya di batasi pada wilayah Karanganom saja, serta absen ke koramil Karanganom pada waktu yang telah di tentukan.
            Setelah kajadian tersebut berlangsung beberapa bulan, dan Mbah Lim sendiri bisa menunjukan bukti bahwa apa yang telah dilakukan telah sesuai dengan aturan yang telah berlaku, maka justru Mbah Lim karena jasanya mendapat kenang-kenangan berupa pakaian ABRI, dan mulai saat itulah hubunganya dengan ABRI terjalin dengan baik hingga sekarang. Bahkan korem 074 Warastratama Surakarta setiap pergantian pemimpin, mengadakan kunjungan ke pondok pesantren ini.
            Pada tahun-tahun berikutnya, kegiatan da’wahnya lebih banyak dilakukan dengan dengan cara “seslingon”, yakni dakwah bil hal atau da’wah langsung dengan praktek tidak banyak mengguanakan teori dengan alasan masyarakat masih berpengetahuan rendah serta menjaga persatuan dan kesatuan warga masyarakat, sampai pada tahun 1974 dengan mendapat dukungan  dari masyarakat sekitar  dan untuk memenuhi amanat dari Kyai Haji Sirath dari surakarta yang merupakan guru informalya, maka didirikan pondok pesantren Al-Muttaqien yang namanya mengambil dari nama masjidnya.
            Sebagaimana layaknya pondok pesantren yang baru lahir, sarana prasarana masih sangat sederhana dan terbatas, hanya terdiri dari sebuah masjid, rumah kyai dan satu bangunan sebagai pondok, dengan ustadnya yaitu kyai Abdurrohim dari Purwodadi, Kyai Najib Heru Cokro dari Kunden dan Mbah Lim sendiri. Sedangkan santrinya terdiri dari beberapa santri mukim dan santri kalong, yang semula hanya berjumlah sekitar 20 orang. Adapun Kurikulum atau materi pada waktu itu sebataspengetahuan agama yang pokok yakni Tauhid, Fiqih, dan Akhlak.
            Dengan didirikan pondok pesantren ini, maka kehidupan keagamaan warga Sumberejo bertambah semarak, yaitu dengan dibentuknya kelompok pengajian “Wali songo” yang kegiatanya sudah berlangsung lama, tetapi baru resmi didirikan pada tanggal 25 September 1979.
            Pada tahun-tahun berikutnya santrinya tidak banyak meningkat karena perhatian Mbah Lim terfokus pada pembinaan umat di kalangan para negarawan dan ABRI yang dilakukan dengan cara mengadakan semaan Al-qur’an bersama ataupun sholat jama’ah yang dilanjutkan dengan dialog yang pertamakali dilakukan pada tahun 1971 di masjid Baiturrohim jakarta, dengan misi dan tujuan demi tercapainya stabilitas nasional. Selanjutnya kegiatan seperti itu sering dilakukan, sehingga banyak mengurangi waktu dalam mengembangkan pesantrenya.
            Pada waktu mbah lim sibuk dengan para negarawan, maka yang menangani pondok adalah putranya, sehingga walaupun Mbah Lim tidak berada di pondok kegiata pembelajaran tidak fakum, tetapi tetap berjalan di bawah pimpinan putranya yakni bapak Jalal di bantu saudara dan istrinya.
            Setelah Mbah Lim menunaikan ibadah Haji yang kedua, Mbah Lim menjalin hubungan secara intensif dengan pesantren lain, sehingga nama Pesantren Al-Muttaqien pun mulai banyak di kenal orang, maka semakin bertambah pula jumlah santri pendatang dari berbagai daerah, seperti: Pati, Kudus, Jepara, Sragen, Karanganyar dan sebagainya yang kurang lebih berjumlah 70 orang, sampai akhirnya pada tahun 1986 mendirikan yayasan Al-Muttaqien Kampus Kader Bangsa Indonesia (KKBI) yang kemudian turut mengolah taman kanak-kanak (TK) RA ma’arif yang didirikan sejak tahun 1970-an oleh warga masyarakat, tetapi hal itu juga tidak terlepas dari motivasi mbah lim dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) hampir bersamaan dengan yayasanya.
            Langkah awal setelah yayasan tersebut di bentuk adalah melakukan inventarisasi jumlah sarana dan prasarana serta melengkapi struktur Organisasiny. Disamping itu, juga mengadakan penghimpunan dana sebagai persiapan pembangunan gedung sekolah formal.
            Setelah selama beberapa tahun, kemudian terkumpul dana dan sarana yang di perkirakan cukup memadai, maka di mulailah pembangunan gedung sekolah formal  yakni Madrasah Aliyah (MA) yang penggunaanya di mulai pada tahun 1993/1994 dengan jumlah murid angkatan pertama 70 siswa, hingga sekarang jumlah keseluruhan mancapai  -+350 siswa, baru setelah beberapa tahun berlangsung, barulah mulai merintis untuk Madrasah Tsanawiyahnya (MTS).
            Demikian uraian tentang sejarah pendiri dan berdirinya pondok pesantren Al-Muttaqien  serta perkembanganya, yang mulanya hanya sebuah mushola atau majlis ta’lim saja, tapi sekarang berkembang menjadi sebuah pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sebuah yayasan. Dan yayasan tersebut mengelola sebuah lembaga pendidikan seperti TK,MTs,MA,TPQ,MADINA, juga TAHFIDZUL QUR’AN.
            Kurikulum yang di pakai pada sekolah formal tersebut pada masa itu masih terbatas pada kurikulum pemeritah, sedangkan dari yayasan belum membuat kebijakan, baru setelah tahun 1998 yayasan menentukan kurikulum seperti : hafalan Juz ‘Amma, Khitobah, Bahasa asing, dan lain-lain.

B.     Keluar Besar Mbah Muslim Rifa’i Imampuro

KH. Muslim Rifa’i ImamPuro Hj. Umi As’adah
Hj. Khoiriyyah + H.Zainal Abidin
jj
H. Jalaluddin Muslim + Hj. Imronah Nur Lailiyah
H. Saifuddin Zuhri Al Hadi + Hj. Heni Sulistyowati
 


















C.     Mau’idhoh Mbah Lim
1.      Tiga “K” yaitu:
a.      Kuli                        b. Kyai                        c. Komandan
Artinya: seorang santri haruslah punya kesiapan menjadi:
a.       Kuli yang artinya siap bekerja
b.      Kyai yang berarti siap untuk mengajar dan berdo’a
c.       Komandan artinya siap menjadi atasan yang baik
2.      Tiga “T” yaitu:
a.      Titi             b.Tatak                       c.Tutuk
Artinya: dalam menjalankan sesuatu kita haruslah
a.       Titi yang artinya selektif
b.      Tatak yang artinya sabar, karena adanya ketelitian juga harus adanya kesabaran, dan kalau sudah ada titi dan tatak pasti akan tutuk.
c.       Tutuk yang artinya selesai dengan hasil yag memuaskan.
3.      Tiga “A” yaitu:
a.      Anteng       b. Alus             c. Alon
4.      Tiga “R” yaitu
a.      Rampung bangunane        b. Rame jama’ae          c. Rukun masyarakate
5.      Janganlah kita hanya membaca sejarah, tetapi buatlah sejarah
6.      Jadi santri seng prigel artinya, seorang santri haruslah cekatan terampil juga tau apa yang harus ia lakukan dan ia kerjakan.
7.      Pakai akal jangan Cuma okol
Artinya: menyelesaikan masalah jangan hanya dengan mengandalkan kekuatan saja tetapi pakailah akal pikiran.
8.      puasa senin-kamis
9.      pergunakanlah waktumu buat selalu membaca Al-Quran
10.  Jadilah paku, semakin di palu semakin kuat
11.  Punyalah hati seperti lautan.
Artinya: laut yang begitu luas juga bisa menampung apa saja termasuk barang yang busuk, jelek, baik, semua akan di terimanya, tetapi laut bisa tetap kelihatan dari luar begitu indah dan menakjubkan, karena di dalamnya terdapat sesuatu benda yang sangat indah yaitu mutiara, begitu juga orang yang mempunyai hati seperti lautan dia akan terlihat dari luar sabar, tenang, meskipun dia dicaci maki karena dalam hatinya mempunyai sifat baik pula.




















D.     Letak Geografis pondok Pesantren Al-Muttaqien.
Sebuah lembaga da’wah, pendidikan dan lembaga sosial, pesantren lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat pendukungnya. Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tidak  terlepas dari lingkungan sekitarnya.
            Pondok pesantren Al-Muttaqien terletak didusun sumberejo. Kelurahan Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Desa tersebut di kelilingi oleh desa-desa yang lain yang membatasinya, antara lain:
Ø  Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan kunden
Ø  Sebelah timur dan selatan berbatasan dengan kelurahan meger
Ø  Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan tarubasen.
Pondok pesantren Al-Muttaqien terletak di persimpangan jalur jogja-solo, Kurang lebih masuk 700 M. Sehingga agak mudah di jangkau oleh angkutan umum. Sebelum masuk ke wilayah pondok pesantren, masih terdapat sawah yang melintang, dan di pertengahan sawah tersebut sebagian sedang di bangun lokasi Universitas yang oleh Mbah Lim di beri nama Universitas Ronggo Warsito, atau disingkat UNIRO.

Post a Comment for "PONDOK PESANTREN AL-MUTTAQIEN PANCASILA SAKTI"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel