KONSEP IMAMAH DAN KHILAFAH SEBAGAI MANIFESTASI IMAN
Di susun dan di gunakan guna memenuhi tugas terstruktur
Mata kuliah : Ilmu Kalam
Dosen pengampu : Khusnul khotimah
Di susun oleh :
Bisri Mustofa 102331199
A'isah Amini Akhmad 102331200
Neni Kurniati 102331201
Akmalia Nur Bunita 102331223
Tarbiyah/4 PAI 5
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khilafah dan Imamah
Khilafah mengandung makna yang katsrah (banyak), yang diantaranya pemimpin, penguasa, dan yang menggantikan kedudukan orang banyak, sedangkan Immamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imam artinya pemimpin, seperti ketua atau yang lainya, baik ia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan.[1] Imam juga di sebut khilafah, yaitu penguasa pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga bisa di gunakan untuk Al-Quran karena Al Quran itu adalah imam (pedoman) bagi umat islam.
Imamah juga bisa di sebut khilafah. Sebab orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat islam yang menggantika nabi SAW. Dan kholifah juga bisa di sebut imamah sebab para kholifah adalah pemimpin (imam) yang wajib di taati[2].
Kata khalifah dan turunannya disebut dalam Al-quran sebanyak 116 kali. Adapun kata khalifah sendiri diulang sebanyak delapan kali, dua kali dalam bentuk tunggal (mufrad) dan, enam kali dalam bentuk jamak (khalaif dan khulafa). Sedangkan kata imamah tidak di sebutkan dalam al-quran, yang ada ialah imam (pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin)[3].
Ibnu Abbas mendefinisikan khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di antara para makhluk-Nya. At-Thabari, dengan menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah”adalah Adam dan keturunannya yang taat kepada perintah dan aturan Allah.
Syaikh Isma’il Al-Birusawi menafsirkan kata khalifah sebagai pemimpin semua makhluk, sedangkan Musthafa Al-Maragi menafsirkannya sebagai manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syarat-syarat-Nya. Termasuk di dalamnya adalah manusia yang mempunyai kemampuan luar biasa. Dari semua definisi diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam kata khalifah terkandung makna pergantian generasi sebelumnya, kepemimpinan, dan penggantian Allah untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dimuka bumi. Ketiga komponen tersebut memperlihatkan tugas manusia sebagai khalifah.
Tugas manusia sebagai khalifah untuk menggantikan generasi sebelumnya diperlihatkan oleh konteks Al-Quran surat Yunus:14 dan ayat sebelumnya. Ayat ini mengisahkan kaum-kaum yang mengingkari kerasulan nabi-nabinya. Setelah menghancurkan mereka, Allah menggantikan mereka generasi-generasi berikutnya. Kandungan ayat itu sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas manusia di dunia ini adalah sebagai pengganti dan penerus pendahulunya. Bila melihat konteks Al-Quran surat yunus (10):14, ternyata disamping secara fisik menggantikan generasi-generasi sebelumnya, juga mengganti kebiasaan-kebiasaan mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman (aturan-aturan Allah) yang diistilahkan oleh Al-Quran dengan bayyinat (keterangan-keterangan yang nyata).
Dalam fungsinya sebagai pengganti generasi sebelumnya, manusia dituntut untuk mengubah dan mengoreksi tradisi dan kebiasaan generasi sebelumnya, meskipun mereka menerima tradisi itu secara turun-temurun dari generasi sebelumnya pula, kemudian menggantikannya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Allah. Manusia tidak diperkenankan mengikuti tradisi yang bertentangan dengan aturan Allah. Mereka yang melakukan itu digambarkan Al-Quran sebagai binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan (Q.S. Al-Baqarah:171).
Makna kepemimpinan yang di ambil dari kata khalifah diperlihatkan oleh kumpulan ayat berikut Al-Baqarah:30, Yunus:73, Fathir:39, Shad:26, dan An-Naml:62. Rangkaian ayat-ayat ini beserta ayat sebelum atau sesudahnya berkenaan dengan penciptaan langit, bumi dan isinya. Setelah dengan sangat argumentative Allah menggambarkan telah menciptakan keseluruhannya, Ia menuturkan bahwa manusialah sebagai pemimpin seluruhnya itu.
Konsep kepemimpinan yang diambil dari kata khalifah tidak mesti diratikan bahwa seluruh manusia harus menjadi pemimpin politik. Pada dasarnya semua manusia itu adalah pemimpin. Tentang apa dan siapa yang dipimpinnya itu sebenarnya sangat bergantung pada potensi dan kesempatan yang dimilikinya. Itulah sebabnya, Nabi bersabda, “setiap kalian adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawabannya (atas yang dipimpin itu)[4]. Hadis ini sekaligus menggambarkan bahwa kewajiban untuk memimpin disesuaikan dengan kadar dan fasilitas yang dimilikinya. Itu sebabnya pula, pada kelanjutan hadis itu, kita temukan ragam objek yang dipimpin manusia, seperti keluarga, ternak, rumah tangga, dan lain-lainnya.
Terlepas dari kontroversial apakah islam terkait langsung dengan politik atau apakah islam mengatur sistem pemerintah tertentu seperti yang menjadi lahan perdebatan di kalangan para pemikir, perlu diperhatikan bahwa Islam mewajibkan adanya satu kepemimpinan dalam data komunitas social. Banyak ayat Al-Quran yang mendukung dan menyinggung hal ini. Seorang Marxis ahli Islam, Maxim Rodinson, bahkan menegaskan bahwa agama Islam menyuguhkan kepada para pendukungnya suatu proyek kemasyarakatan yang harus diwujudkan dimuka bumi ini.
Ada sesuatu yang menarik berkenaan dengan pengangkatan manusia sebagai khalifah (pemimpin) bumi. Pertanyaan yang diajukan malaikat seperti digambarkan oleh Al-Quran dalam surat Al-Baqarah:30, menurut sebagian ahli tafsir, merupakan protes terhadap Allah atas pengangkatan manusia sebagai khalifah. Dengan berbekalkan tasbih dan taqdis kepada Allah, mereka merasa lebih berhak untuk menjadi khalifah ketimbang manusia yang mempunyai watak merusak bumi dan mengalirkan darah. Akan tetapi, ternyata Allah lebih memilih manusia sebagai khalifah.
Melihat persoalan diatas, ada dua catatan yang perlu dikedepankan:
1. Diangkatnya manusia sebagai khalifah bukan dilihat dari ibadahnya, tetapi karena pengetahuannya yang tinggi. Bila ibadah yang menjadi bahan pertimbangan, tentu malaikatlah yang lebih pantas menjadi khalifah.
2. Ketika menjalankan tugas sebagai khalifah, manusia tidak dituntut untuk sekedar mementingkan aspek ritual, tetapi dituntut pula mampu memamfaatkan potensi intelektualnya untuk menhadapi dunia.
Untuk menghadapi “proyek besar” ini, manusia bukannya hampa tanpa berbekal apa-apa. Allah telah membekalinya berupa wahyu, akal, dan potensi-potensi lainnya. Abdul Qadir Ahmad Atha memahami kalimat “wa allama Adama al-asma” dengan nama-nama yang diberikan kepada Adam. Ini mengandung arti bahwa Allah telah membekali manusia suatu potensi yang dapat menalar dan menangkap seluruh realitas yang berada di bumi.
Makna khalifah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan aturan-aturan-Nya diambil secara implicit dari konsekuensi logis tugas manusia sebagai pemimpin. Artinya, manusia telah diberi mandat oleh Allah untuk memimpin bumi dan langit serta seisinya, tentunya dalam melaksanakan mandatnya itu, manusia harus melaksanakan seluruh program Allah yang diturunkan dalam bentuk syari’ah. Apa-apa yang dicanangkan dan diprogramkan manusia sebagai khalifah tidak boleh keluar dari jalur-jalur aturan Allah.
Ketiga poin diatas setidak-tidaknya mewakili ungkapan-ungkapan Al-Quran dan As-sunnah yang berbicara tentang tugas manusia. Al-Quran surat Adz-Dzariyyat:56, umpamanya dapat menjadi rujukan ketiga poin diatas. Maksudnya, ketika manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah, ia melakukan tugasnya itu karena ibadah kepada Allah semata dan untuk mencari keridaan-Nya. Kemudian Al-Quran surat Ali Imran:110 menjadi acuan tugas manusia sebagai pemimpin. Maksudnya, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu tugas seorang pimpinan (khalifah) yang secara otomatis berarti tugas seluruh manusia.
Kekhalifahan manusia dibumi memiliki implikasi prinsipil yang luas, karena kedudukannya sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan yang Mewakilkannya tentang tugas suci yang diembannya. Oleh karena itu, kekhilafan yang diembannya harus mengimbas kepada seluruh bidang hidupnya, seperti politik dan hukum.
B. Arti Pemimpin Menurut Berbagai Kelompok
a. Khalifah dalam Pandangan Syi’ah
Imamah dalam perspekstif Syiah merupakan kepemimpinan universal dan menyeluruh dalam masyarakat sosial Islam, baik di bidang keaagamaan maupun keduniaan. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari tuhan, bahkan nabi sendiri tidak memiliki hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau, beliau harus menetukan khalifah sesuai dengan perintah tuhan.
Oleh karena itu Imamah sama seperti kenabian, merupakan salah satu permasalahan ilahiyah, jika para nabi dimandat dan dilantik dari langit, Imam pun juga harus demikian.
Dalam pandangan Syiah, Imamah bukan hanya pemerintahan/kepemimpinan dhahir, namun imamah sebuah maqam yang sangat agung dan memiliki kandungan spritual, selain memimpin dan mengurusi masalah sosial dan kehidupan bermasyarakat seorang Imam juga memiliki tugas memberi petunjuk dalam semua bidang kehidupan lebih umum dari duniawi maupun ukhrawi, dia penuntun dan pembimbing pemikiran dan jiwa umat, sebagaimana ia juga bertugas untuk menjaga sariat yang dibawa oleh para rasul, dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai lewat pengutusan seorang nabi.
Dalam keyakinan Syiah, pribadi yang secara asli –bukan sebagai pengganti- Memiliki maqam ini, maka ia mengetahui segala dimensi ajaran agama, yang dengan demikan dia tidak akan mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam menjelaskan dan menerangkan khazanah keilmuan dan hukum-hukum Islam, dan dia terjaga dari segala dosa.
Para Imam dalam pandangan Syiah memiliki semua maqam dan kedudukan yang dimiliki oleh nabi, selain kenabian sendiri, segala ucapan dalam rangka menjelaskan berbagai hakikat, undang-undang, dan pengetahuan Islami merupakan hujjah (dalil), dan segala perintahnya di setiap permasalahan harus ditaati.
b. Khalifah dalam Pandangan Ahli Sunnah
Imamah dalam perspekstif Syiah merupakan kepemimpinan universal dan menyeluruh dalam masyarakat sosial Islam, baik di bidang keaagamaan maupun keduniaan. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari tuhan, bahkan nabi sendiri tidak memiliki hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau, beliau harus menetukan khalifah sesuai dengan perintah tuhan.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy didalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
c. Khalifah dalam Pandangan Khawarij
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat. Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran-aliran Khawarij. Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
d. Khalifah dalam Pandangan Mu’tazilah
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kata khalifah dan turunannya disebut dalam Al-quran sebanyak 116 kali. Adapun kata khalifah sendiri diulang sebanyak delapan kali, dua kali dalam bentuk tunggal (mufrad), yaitu Al-baqarah(2):30 dan Shad(38):26 dan enam kali dalam bentuk jamak (khalaif dan khulafa), yaitu Al-An’am(6):165, Yunus(10):14,73, Fathir(35):39, Al-A’raf(7):74, dan An-Naml(27):62.
2. Imamah dalam perspekstif Syiah merupakan kepemimpinan universal dan menyeluruh dalam masyarakat sosial Islam, baik di bidang keaagamaan maupun keduniaan. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari tuhan, bahkan nabi sendiri tidak memiliki hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau, beliau harus menetukan khalifah sesuai dengan perintah tuhan.
3. Imamah dalam perspekstif Syiah merupakan kepemimpinan universal dan menyeluruh dalam masyarakat sosial Islam, baik di bidang keaagamaan maupun keduniaan. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari tuhan, bahkan nabi sendiri tidak memiliki hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau, beliau harus menetukan khalifah sesuai dengan perintah tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali as-salus.1987.imamah dan khilafah.jakarta:gema insani press.
Anwar, Rosihon.2006. Ilmu Kalam, Jakarta: Pustaka Setia.
http://akhimalaysia.blogspot.com/2011/06/konsep-kekhalifahan-sebagai-manifestasi.html. (hari senin, 30 April 2012, pukul 11.30)

Post a Comment for "KONSEP IMAMAH DAN KHILAFAH SEBAGAI MANIFESTASI IMAN"
silahkan tulis pendapatmu disini